BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Istilah good and clean governance atau tata pemerintah yang bersih dan
baik merupakan wacana yang mengiringi gerakan reformasi. Wacana clean and good governance sering kali dikaitkan
dengan tuntutan atau pengelolaan pemerintahan yang professional, akuntabel dan
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebuah kritik terhadap pengelolaan pemerintahan orde
baru yang sarat KKN yang berakhir krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Perdebatan clean and good governance merupakan bagian penting dari wacana umum
demokrasi, HAM dan masyarakat madani yang di usung gerakan reformasi.
2.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah materi dalam makalah ini diarahkan pada pengertian clean and good
governance, prinsip-prinsip clean and good governance, definisi korupsi menurut
komisi pemberantasan korupsi, asal usul korupsi dinegara berkembang, dampak
dari korupsi, hubungan antara clean and good governance dengan kinerja
birokrasi pelayanan public, supaya Pemerintah lebih bisa Akuntanbel.
3.
Tujuan Dan Manfaat
Tujuan
makalah ini untuk memahami pentingnya clean and good governance yang mewujudkan
transparasi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang
mengakibatkan terjadinya kebocoran anggaran, penggunaan negara untuk
kepentingan individu atau golongan, bukan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Good
And Clean Governance
Istilah good and clean governance merupakan
wacana baru dalam kosa kata ilmu politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara
umum pengertian good and clean governance adalah segala hal yang terkait dengan
tindakan yang bersifat mengarah. Mengendalikan atau mempengaruhi urusan public untuk mewujudkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan secara khusus pengertian Good
and clean governance adalah pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan
warga Negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintah yang berkeadapan
melalui wujud pemerintah yang suci dan damai. Dalam kontek Indonesia substansi good and clean governance di
padankan dengan pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa. Sedangkan dalam
definisi lain, pengertian good and clean governance adalah pelaksanaan
politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah bangsa. Pelaksanaan
tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan efisien,
responsive terhadap kebutuhan rakyat dalam suasana demokratis, akuntabel dan
trasparan (Said, 2010).
Arti good dalam good gaverance mengandung dua
pengertian (Widodo, 2000 dalam Rakhmat 2009). Pertama, nilai-nilai yang
menjunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kemapuan rakyat dalam pencapaian kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan
keadilan social. Kedua aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif
dan efisien dalam melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Orientasi pertama
mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen
konstituennya seperti legitimacy, accountability, autonomy and devolustion of
power. Orientasi kedua tergantung pada bagaimana pemerintahan mempunyai
kompetensi serta struktur dan mekanisme politik dan administrasi berfungsi
secara efisien dan efektif.
2.
Prinsip-Prinsip
Good And Clean Governance
Menurut
Kumorotomo (2010), Untuk merealisasikan pemerintahan yang professional dan
akutanbel yang berdasarkan pada prinsip-prinsip good and clean governance,
Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental yaitu :
·
Partisipasi
·
Penegakkan hukum
·
Transparansi
·
Rensponsif
·
Orientasi kesepakatan
·
Keadilan
·
Efektifitas dan efesiensi
·
Akutanbilitas
·
Visi strategis
a.
Partisipasi
Semua warga
negara mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun
melalui lembaga perwakilan yang sah. Patisipasi tersebut di bangun berdasarkan
prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa warga negara
dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,
menyatakan pikiran melewati tulisan maupun lisan (Ramadhan, 1989 dalam
elbaruqy, 2010). Setiap orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang dugaan korupsi, serta menyampaikan saran dan pendapat maupun
pengaduan kepada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat). Dalam pasal
1,ayat 1, PP Nomor 71 Tahun 2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah
peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
b.
Penegakan hukum
Pelaksanaan
kenegaraan dan pemerintah harus di tata oleh sebuah aturan hukum yang kuat dan
memiliki kepastian hukum. Maka hal tersebut harus diimbangi dengan komitmen
penegakan hukum dengan karakter-karakter antara lain:
·
Supremasi hukum
Supremasi hukum
akan menjamin tidak terjadinya tindakan penguasa atas dasar diskresi (tindakan
sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya).
·
Kepastian hukum
Bahwa setiap
kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak
duplikatif dan tidak pertentangan antara satu dan lainnya.
·
Hukum yang reponsif
Aturan-aturan hukum itu disusun berdasrkan aspirasi masyarakat dan mampu
mengakomodir berbagai kebutuhan publik.
·
Penegakan hukum yang konsisten dan non diskrimatis
Bahwa penegakan hukum berlaku untuk semua islam.
·
Independensi peradilan
Bahwa peradilan
tidak dipengaruhi oleh penguasa.
c.
Trasparansi
Hal ini mutlak
dilakukan untuk menghilangkan budaya korupsi dikalangan pelaksana pemerintah.
Terdapat 7 macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi di
Indonesia, yaitu:
·
Transactive corruption
Yaitu korupsi
yang dilakukan saat transaksi dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dari
transaksi dengan merugikan negara.
·
Investive corruption
Yakni investasi yang belum memiliki kepastian keuntungannya.
·
Neposistive corruption
Yakni pemberian
pekerjaan pada keluarga sehingga mengurang efektifitas kontrol.
·
Defensive corruption
Yakni pihak
korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan
prilaku pemberikan tersebut merugikan negara.
·
Autogenic corruption
Yakni korupsi
yang dilakukan seseorang dan tidak melibatkan orang lain yang dapat
menguntungkan dirinya.
·
Supportive corruption
Yakni korupsi
untuk melindungi korupsi yang lain yang telah dilakukannya.
d.
Rensponsif
Pemerintah
harus memahami kebutuhan masyarakat, tidak menunggu mereka menunggu
keinginannya tetapi secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan
masyarakat untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi
kepentingan umum.
Sesuai asas
rensponsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki 2 etika yaitu:
·
Etika individual
Yakni
kualivikasi etika individual menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar
memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.
·
Etika sosial
Yakni menurut
pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan publik.
Pemerintah bisa
dikatakan baik jika telah melahirkan kebijakan yang beerdampak baik kepada sebagian
negaranya. Sebaliknya Pemerintah bisa dikatakan buruk jika membuat sebagian
warganya hidup tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh elit
birokrasi.
e.
Konsensus
Bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses
musyawarah. Paradikma ini perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pemerintah karena urusan
yang mereka kelola adalah persoalan public yang harus dipertanggungjawabkan
kepada rakyat. Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntanbilitas dari
proses pengelolaan tugas-tugas pemerintah dalam pengambilan berbagai kebijakan,
pemerintah harus mengembankan kebijakan sikap yaitu:
·
Optimistik
Yakni sikap
yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan
benar.
·
Keberanian
Yakni
keberanian dalam mengambil keputusan dengan penuh integritas dan kejujuran
sesuai dengan prosedur yang benar serta tidak takut dengan intimadi penguasa
atau organisasi tertentu.
·
Keadilan yang berwatak kemurahan hati
Yakni kemampuan
untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.
f.
Kesetaraan
Yakni kesamaan
dalam perlakuan dan pelayanan karena kenyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang majmuk baik etnis, agama dan budaya.
g.
Efektifitas dan Efisiensi
Kriteria
efektifitas biasanya diukur dengan produk yang dapat menjangkau sebesar-besar
kepentingan masyarakat. Sedangkan efesiensinya diukur dengan rasinalitas biaya
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang
terpakai untuk kepentingan terbesar maka termasuk dalam kategori pemerintahan efesien.
h.
Akutanbilitas
Akutanbilitas
adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya
kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Pengembangan akutanbilitas
bertujuan agar para pejabat yang diberi kewenangan mengelola urusan publik
selalu terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan.
Secara teoritik
akutanbilitas menyangkut 2 dimensi yaitu akutanbilitas vertikal dan
akutanbilitas horisontal. Akutanbilitas vertikal menyangkut hubungan antara
pemegang kekuasaan dengan rakyatnya. Akutanbilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus
mempertanggungjawabkan kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada atasan
yang lebih tinggi. Seperti bupati mempertanggungjawabkan tugasnya kepada
gubernur.
Sedangkan
akutanbilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang jawaban publik
kepada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD I, bupati dengan DPRD
II.
i.
Visi strategis
Visi
strategis adalah pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan
datang karena perubahan dunia dengan kemajuan tegnoliginya begitu cepat.
Seseorang yang menempati jabatan publik harus mempunyai kemampuan menganalisa
persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
3.
Pengertian
Korupsi
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang mengambil keuntungan pribadi dengan merugikan kepentingan umum atau
negara. Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis
tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci
mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
·
Kerugian
keuangan negara
·
Suap-menyuap
·
Penggelapan
dalam jabatan
·
Pemerasan
·
Perbuatan
curang
·
Benturan
kepentingan dalam pengadaan
·
Gratifikasi
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah
dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31 Tahun 1999. UU No. 20 Tahun
2001. Jenis tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:
·
Merintangi
proses pemeriksaan perkara korupsi
·
Tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
·
Bank yang
tidak memberikan keterangan rekening tersangka
·
Saksi atau
ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
·
Orang yang
memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
·
memberikan
keterangan palsu
·
Saksi yang
membuka identitas pelapor
a.
Asal usul korupsi di negara berkembang
Sesungguhnya
sejarah perkembangan korupsi beserta upaya pemberatasannya, terutama dalam
skala mega, sudah berlangsung sejak tengah dasawarsa 1950-an. Dimulai ketika
terjadi abuse of power oleh menteri ekonomi kala itu, Iskak Tjokroadisuryo,
pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Korupsi berupa pemberian lisensi impor dari
Politik Benteng dengan tak memberikannya kepada pengusaha pribumi yang kompeten
dan diberikan kepada konco-konconya. Lisensi-lisensi tersebut akhirnya dijual
kepada pengusaha keturunan Cina, sehingga dikenal istilah ''pengusaha
Ali-Baba''.
PM Burhanuddin
Harahap yang bekerja sama dengan TNI AD mengambil kebijakan antikorupsi yang
efektif, yakni meluruskan pelaksanaan Politik Benteng. Karena kabinet ini
umurnya pendek, upaya penegakan pemerintahan bersih tenggelam dengan suasana
konflik politik antarpartai dalam Konstituante yang akhirnya Presiden Soekarno
membubarkan Konstituante itu pada 5 juli 1959. Pada saat yang hampir sama,
Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Karena ketidaksiapan dalam
mengisi pengganti manajemen dari asing ke tangan nasional, maka dari sini pula
sejarah bancakan perusahaan negara (belakangan dikenal BUMN), banyak dilakukan
pihak-pihak partai.
Kedahsyatan
korupsi mengalami momentum pada pemerintahan lebih 30 tahun Orde Baru. Di mulai
korupsi skala mega yang dialami Pertamina (1975) dengan kerugian diperkirakan
sekitar 12,5 miliar dolar AS tanpa ada tindakan hukum kepada pihak-pihak yang
terlibat. Kemudian dengan mengalirnya dana utang luar negeri rata-rata 5 miliar
dolar AS per tahun (saat lengser Pak Harto stok utang sekitar 70 miliar dolar
AS), investasi langsung perusahaan asing, eksploitasi sumber daya alam
(terutama migas dan hutan) yang menjadi sumber dana domestik yang kolosal, maka
pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis korupsi dari yang tradisional (upeti,
sogok, perkoncoan, premanisme, dll) maupun bentuk baru (kolusi
birokrat-pengusaha, kolusi bankir-pengusaha, mafia peradilan, penggelapan
pajak, komersialisasi jabatan, kick-back dan mark-up proyek-proyek, rekayasa
finansial, monopoli-oligopoli serta monopsoni-oligopsoni komoditas strategis,
dst).
Kesemua itu
menjadikan potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen menjadi
hanya 7 persen per tahun. Perkiraan kebocoran anggaran bisa mencapai 30 persen
hingga lebih dari 50 persen. Pada saat krisis tahun 1977 terjadi capital
flight. Simpanan orang Indonesia di luar negeri akibat pelbagai kebocoran alias
korupsi tersebut menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sekitar 85 miliar
dolaar AS (atau sekitar Rp 750 triliun). Upaya pembentasan korupsi kala Orba
sejak awal sudah ada. Mulai dengan adanya Komisi 4 dengan penasihatnya mantan
Wapres Bung Hatta. Namun rekomendasinyapun tak digubris. Kemudian di luar Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah tercantum dalam UUD 45, pemerintah Soeharto
membentuk Inspektorat Jenderal di tiap lembaga negara dan Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai kontrol yang dikendalikan langsung
presiden.
Namun
efektivitasnya bukan hanya diragukan bahkan menjadi sumber kobocoran baru
dengan terjadinya pengaturan laporan keuangan dan pelbagai bentuk KKN. Akhirnya
BPK pun menjadi mandul dan malahan menjadi pengganda kebocoran. Wapres yang
fokus kepada pengawasan serta juga ada menko dan menneg PAN yang juga bertugas
untuk pengawasan pun hampir tak pernah terdengar kiprahnya. Barangkali semua
itu karena sifat pemerintahan dan sistem politik otoritarian dan sentralistik
sehingga sistem check and balance dari DPR maupun yudikatif menjadi lumpuh.
Pers pun dibungkam bahkan para aktivis kritis pun banyak ditangkap.
Reformasi yang
dilakukan sejak 1998 hingga sekarang juga baru menyentuh secara politik. Dan
korupsi pun makin mengalami ramifikasi baik vertikal (menyebar ke daerah)
maupun horizontal (bukan hanya di pemerintah dan lembaga yudikatif tapi juga ke
DPR) sehingga popular dengan adanya ''korupsi berjamaah''. Upaya pemberantasan
korupsi di masa reformasi ini dimulai momentum dengan adanya kebebasan pers dan
kebebesan politik umumnya.
Dalam
pelembagaannya dimulai dengan pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat
Negara (KPKPN) yang mulai terjadi sedikit gereget dengan terungkapnya daftar
kekayaan berbagai pejabat tinggi yang abnormal. Misalnya terungkapnya misteri
kekayaan Jaksa Agung MA Rahman dan pejabat lainnya meski satu pun dari temuan
itu tak ada tindak lanjut secara hukum. Malahan oleh pemerintahan Megawati
KPKPN ini pun ''dibubarkan'' dan dintegrasikan kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Pada pemerintahan Megawati keberadaan KPTPK ini
pun sulit berperan, karena konon sulitnya pemberian izin bagi pejabat untuk
diperiksa.
Baru sejak
pemerintahan SBY sedikit terkuak harapan dengan lebih lancarnya izin tersebut
dengan mulai adanya pemeriksaan (misal kasus KPU dan Bank Mandiri) bahkan juga
mulai ada yang divonis (kasus pimpinan DPRD Sumbar dan pejabat daerah lainnya,
kasus Gubernur Abdullah Puteh dan Kharis Walid). Patut dicatat dengan sedikit
ada harapan ini, tak luput dari peran BPK sejak dipimpin Billy Joedono dan
diteruskan oleh Anwar Nasution yang menguak data-data penyelewengan skala mega
di pelbagai lembaga strategis. Namun, kesan masih memburu kasus sensitif secara
politis dalam pemberantasan korupsi ini masih belum pupus, karena untuk kasus
lebih kolosal semisal kasus BLBI yang nilainya puluhan triliun masih belum
tersentuh sama sekali.
Dengan
perkembangan tersebut, Indonesia menurut berbagai lembaga pemeringkat
internasional sejak awal tahun 90-an hingga sekarang selalu masuk kategori
negara terkorup. Gejala korupsi ini seperti belum terbersit harapan untuk
pemberantasannya. Hal ini karena korupsi telah kadung menjadi kebudayaan
(Damanhuri, 2007 dalam elbaruqy, 2010).
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya korupsi antara lain:
·
Kemiskinan
Korupsi dengan latar belakang kemiskinan berasal dari kebutuhan.
·
Kekuasaan
Kekuasaan sering membuat orang bertindak sewenang-wenang dan mengambil
keuntungan dengan kekuasaan yang dimilikinya.
·
Budaya
Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar Universitas
Waseda Jepang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan
sistem keluarga besar, yaitu masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan
seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota keluarga
besar itu.
·
Ketidaktahuan
Ini adalah alasan
yang mengada-ada karena dana yang diberikan sering tidak diketahui
peruntukannya. Karena tidak tahu dan tidak perlu mencari tahu maka ketika ada
masalah dana tersebut dijadikan sebagai korupsi.
·
Rendahnya kualitas moral masyarakat
·
Lemahnya kelembagaan politik suatu negara
Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum dan penerapannya. Jika kasus
korupsi tidak ditangani sungguh-sungguh maka akan mengembangkan nilai dimata
publik bahwa korusi ”aman” dilakukan asal membayar ”harga tertentu”.
·
Menjadi penyakit bersama.
Sebagai sebuah penyakit maka dengan cepat menular dari kawasan satu
kekawasan lain.
b.
Dampak korupsi
Beberapa hal
yang diakibatkan dari korupsi antara lain menimbulkan:
·
Kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah.
·
Menular kesektor swasta dalam bentuk usaha mengejar laba dengan cepat dan
berlebihan, menyisihkan investor baru dan mengurangi pertumbuhan sektor swasta.
·
Kenaikan harga administrasi karena pembayar pajak membayar beberapa
kalilipat untuk pelayanan yang sama.
·
Mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik.
·
Merusak moral aparat pemerintah.
·
Menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan yang akhirnya menurunkan legitimasi
pemerintah.
·
Pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban untuk
kemakmuran bersama di masa mendatang.
4.
Hubungan Antara Clean And Good Governance Dengan
Gerakan Anti Korupsi
Clean and good governance meniscayakan adanya
transparansi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang
mengakibatkan kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan
individu atau golongan bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Ada beberapa grand design dalam menciptakan situasi perang terhadap
korupsi:
Pertama, apapun
kebijakan antikorupsi yang diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan
langkah-langkah tersebut hendaknya ditempatkan sebagai ''totok nadi'' yang
strategis, berkelanjutan, dan paling bertanggung jawab di antara semua langkah
total football, estafet dari semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan
korupsi, baik dari kaum agamawan, akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia
internasional, dan seterusnya.
Kedua, menghindari
politik belah bambu yang menggunakan KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu
pihak-pihak yang secara politis harus dikalahkan dan membiarkan pihak-pihak
yang dianggap kawan politik.
Ketiga, keseriusan
untuk mencari solusi terbebasnya TNI dan Polri dari dunia politik dan bisnis
secara tuntas.
Keempat, euforia elite
politik di pusat dan daerah dalam menikmati kebebasan politik, kebebasan
berpendapat, dan kebebasan pers yang seharusnya semakin mendewasakan kehidupan
berdemokrasi yang ujung-ujungnya juga mampu membangkitkan kembali kehidupan
ekonomi dengan ukuran rakyat yang semakin sejahtera (Damanhuri, 2007 dalam
elbaruqy, 2010).
5.
Hubungan Antara
Good And Clean Governance Dengan Dengan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik
Dalam rangka
menyelamatkan keuangan negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan
diantaranya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Kemudian dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
semakin jelas keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem pengelolaan
keuangan negara, mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang diterapkan
nampaknya masih lemah dan cenderung membuka peluang yang sangat besar bagi
terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran.
Tentu bukan
soal yang mudah dalam mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas
tersebut, perlu adanya kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa
yang tertuang dalam PP tersebut (Rahayu, 2009 dalam elbaruqy, 2010). Dengan
tiga pilar pelayanan public menjadi titik setrategis untuk memulai pengembangan
dan penerapan Clean and good governance di Indonesia.
Tiga pilar tersebut yakni:
·
Pelayanan publik selama ini menjadi tempat dimana negara yang diwakili
pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah.
·
Pelayanan
publik tempat dimana berbagai aspek Clean and good governance dapat
diartikulasikan lebih mudah.
·
Pelayanan publik melibatkan semua unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan
mekanisme pasar.
BAB III
ANALISIS KAJIAN
1. Analisis Kajian
Pemerintahan yang baik dan bersih atau good and clean goveranace merupakan
prinsip pemerintahan yang didambakan dan diharapkan oleh setiap rakyat di
seluruh penjuru dunia. Untuk merealisasikan hal itu, maka ada 9 aspek
fundamental yang harus dijalankan, antara lain: Partisipasi, Penegakkan hukum,
Transparansi, Rensponsif, Orientasi kesepakatan, Keadilan, Efektifitas dan
efesiensi, Akutanbilitas, Visi strategis.
Idealnya aspek-aspek tersebut telah ada dan tercermin di dalam diri
pemerintah yang berkuasa, begitu juga dengan pemerintahan di Indonesia. Akan tetapi
sampai saat ini masih aspek-aspek tersebut masih belum dapat sepenuhnya
dipenuhi dan dijalankan oleh pemerintahan berkuasa saat ini. Bahkan saat ini
masih banyak pengingkaran-pengingkaran aspek-aspek fundamental tersebut, salah
satunya adalah korupsi.
Di Indonesia korupsi seolah-olah telah menjadi kebudayaan yang cenderung
dilestarikan oleh penguasanya dan seakan-akan dibiarkan oleh masyarakatnya,
meskipun kini kesadaran akan bahaya laten korupsi sudah mulai dapat dirasakan.
Lembaga yang khusus menangani masalah korupsipun telah didirikan. Akan tetapi,
pada praktiknya tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Bahkan di
tingkat ASEAN Indonesia memegang predikat negara terkorup.
Predikat terkorup merupakan suatu predikat yang sangat memalukan bagi
seluruh rakyat indonesia. Akan tetapi sampai detik ini masih belum ditemukan
suatu regulasi yang benar-benar dapat mengatasi masalah korupsi yang sudah
menjalar di seluruh bidang tanpa terkecuali.
Oleh karena itulah, dibutuhkan sosok pemimpin-pemimpin baru yang mampu
membawa perubahan yang signifikan dalam penciptaan atmosfir pemerintahan yang
mencerminkan prinsip good & clean governance. Selain itu, konsep
pemerintah-penguasa haruslah di hapuskan dan digantikan dengan konsep
pemerintah-pelayan, sehingga pemerintah tak lagi memandang sebelah mata
terhadap rakyatnya.
Menurut
Kaharstia (2011), Ciri pemerintahan masa depan, memiliki akuntabilitas dan
transaparansi dalam pemecehan berbagai permasalahan pemerintahan yang semakin
kompleks dan dinamis sebagai akibat perkembangan yang terjadi dewasa ini.
Olehnya, menyikapi tuntutan dan kemajuan serta perkembangan yang terjadi dewasa
ini, maka pembangunan sector public, diarahkan untuk mewujudkan birokrasi
pemerintahan yang mampu mengelola pemerintahan Negara dan pembangunan bangsa
secara efisien, efektif dan akuntabel.
Di sisi lain, mahasiswa sebagai agent of chage juga tak boleh berdiam diri
dan berpangku tangan menunggu hadirnya pemimpin-pemimpin baru yang mampu
menghadirkan perubahan tersebut, tetapi mahasiswa harus memulai membuat
perubahan-perubahan mulai dari dirinya sendiri dan selanjutnya mengajarkan,
menularkan dan menyebarkan perubahan-perubahan yang menuju ke arah kebaikan.
Selain itu, dibutuhkan juga koordinasi dan kerja sama seluruh lapisan
masyarakat untuk menciptakan dan mengkondisikan terciptanya sistem pemerintahan
yang mencerminkan prinsip good & clean governance. Selain menkondisikan,
kita juga harus selalu membuka mata dan bukan menutup mata untuk membiarkan
atau bahkan memberikan kesempatan bagi oknum-oknum tertentu yang ingin
mengambil keuntungan pribadi dan merugikan banyak orang.
Ketika semua lapisan masyarakat telah mengetahui tugas dan haknya
masing-masing, maka penyimpangan-penyimpangan yang kini banyak terjadi akan
dapat diminimalisir atau bahakan di hilangkan dari permukaan bumi pertiwi,
yaitu Indonesia tercinta. Negeri yang sebenarnya kaya, akan tetapi dimiskinkan
oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari penjabaran
pembahasan diatas, kami penulis menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
1.
Good and Clean
Governance sebagai wacana bagi pemerintah untuk mewujudkan kepemerintahan yang
besih, profesional, akuntanbel dalam segala bidang, serta bebas dari mala
praktek yang merugikan negara.
- Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah bisa lebih transparan dalam pelayanan publik, dan bisa meningkatkan kinerja birokasi.
- Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah bisa mempunyai monitoring yang handal dari kalangan swasta atau masyarakat pada umumnya.
- Good and Clean Governance adalah landasan untuk menciptakan negara yang kuat, kokoh, tangguh dalam segala aspek.
2.
Saran
1.
Good and Clean
Governance harus dijalankan semaksimal mungkin oleh kalangan birokrasi atau
kalangan pemegang kekuasaan dan juga harus didukung oleh masyarakat. Kalau
semua sudah maksimal maka pemerintah akan selalu memegang teguh peraturannya
yakni (bebas KKN).
2.
Pemerintah harus transparan dalam hal dalam pelayanan publik, supaya negara
terbebas dari oknum-oknum yang merugikan negara.
3. Supaya
pemerintah menggalakkan kepada semua kalangan kepemerintahan mulai dari RT
sampai ke Pejabat yang paling tinggi.
4.
Supaya pemerintah mengadakan semacam seminar-seminar wawasan kebangsaan
kepada semua masyarakat umumnya, khususnya kepada para Pejabat Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar