DASAR
DAN TEORI KONSELING ISLAM
(Oleh
: Mukhlas)
A.
Dasar
Normatik Konseling Islam
Yang dimaksud dengan dasar normatik atau
landasan teori konseling islam adalah, landasan berpijak yang benar tentng
bagaimana proses konseling itu dpat berlangsung baik dan menghasilkan
perubahan-perubahan positif pada klien. Seperti mengenai cara dan paradigma
berfikir, cara menggunakan potensi hati nurani, cara berperasaan, cara
berkeyakinan dan bertingkahlaku berdasrkan wahyu ilahi dan paradigma kenabian,
yaitu (al-Qur’an dan al-Hadis).[1] Adapun landasan teori yang
dimaksud adalah:
1.
Berdasarkan
al-Qur’an
Surah
an-Nahl ayat 125.
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan tuhan-mu
degan hikmah, dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentan siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (an-Nahl: 125)
Ayat diatas menjelaskan tentang teori dalam
menasihati, menganjurkan, membimbing, mengarahkan, mendidik, (mengajar) untuk menuju kearah perbaikan, perubahan dan
pengembangan yang lebih positif dan membahagiakan. Teori-teori yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
A. Teori “Al-Hikmah”
Kata
“Al-Hikmah” dalam perspektif bahasa mengandung makna: (a). Ucapan yang sesui dengan
kebenaran, filsafat, perkara yang benar dan lurus, keadilan, pengetahuan dan
lapang dada.[2]
(b). Kata “Al-Hikmah” dengan bentuk jamakny “Al-Hikam” bermakna,
kebijaksanaan, ilmu pengetahuan,
filsafat kenabian, keadilan, pepatah dan al-Qur’an al-Karim.[3] Perkataan yang tegas dan
benar yang dapat membedakan antara yang hak dan batil.[4]
Secara
istilah Al-Hikmah bisa diartikan sebagai suatu pedoman, penuntun dan pembimbing
untuk memberi bantuan kepada individu yng sangat membutuhkan pertolongan dalam
mendidik dan mengembangkan eksistensi dirinya, hingga ia dapat menemukan jati
diri dan citra dirinya serta dapat menyelesaikan atau berbagai ujian hidup
secara mandiri.
Apaila
seseorang ingin mengetahui suatu yang terdiri dari berbagai macam pendapat dan
ingin mendapatkan makna yang dimaksud oleh Allah SWT, serta dipahami oleh
RasulSAW, maka ia harus mengembalikannya kepada al-Qur’an dan hadis.
Sebagaimana Firmannya:
Artinya: hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasl (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian ika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, mka kembalikanlah ia kepada allah
Al-Qur-an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar berimn kepada allah dan
hari kemudian. Yang dmikian itu lebih utama (bagimu) dan Lebih baik akibatnya.
(QR. 4. 59).
Proses
aplikasi konseling dengan teori ini semata-mata dapat dilakukan oleh konselor
dengan pertolongn Allah secara langsung atau melalui utusan-Nya, yaitu Allah
mengutuskan malaikat-Nya, dimana di hadir dalam jiw konselor atas izin-Nya.[5] Hal yang sesuai dngan
firmam Allah SWT:
Artinya: Allah menganugerahkan Al-hikmah (kepahaman
yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendak-Nya.
Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benr-benar telah dianugerahi
hikmah, ia benarbenar telah dinugerahi arunia yang banyak. Dan hanya orag-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QR: 2:
269)
Teori
“Al-Hikmah” tidak dilakukan oleh konselor yang tidak taat, tidak dkat dengan
Allah dan utusan-nya. Karena teori ini merupakan teori konsling yang dilakukan
olh para Raul, para Nabi, dan para sahabat, untukmenyelesaikan permasalahan
yang dihadapi oleh umat. Adapun yang menjadi ciri dariteori ini adalah:
a.
Adanya pertolongan Allah secara langsung
melalui utusan-nya.
b.
Adannya ketauladanan dan keshalehan konselor.
Dengan
kata lain, dasar atau teori hikmah dalam konsling dapat diartikan sebagai
memberikan nasihat (ajaran agama) daam bahasa, akhlaq, teladan yang baik,
motivasi, taktik, pengalaman, dengan mengembangkan unsur pendidikan.
B. Teori “al-Mau’izhah al-Hasanah”
Yaitu
teori konseling dengan cara mengambil pelajaran-pelajaran atau i’tibar-i’tibar
dari perjalanan kehidupan para nabi, Rasul, dan para sahabat. Yang mana mereka
senantiasa mendapatkan bimbingan dari allah bagaimana cara berpikir,
berprilaku, berperasan, dan menanggulangi berbagai problem kehidupan, serta
bagaimana mereka membangun ketaatan, dan ketaqwaan kepada Allah, mengembangkan
eksistensi diridan menemukan jati diri, serta bagaimana cara mereka melepaskan
diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan mental spiritual dan moralnya.
Adapun
yan dimaksud dengan al-Mau’izhoh al-Hasnah adalah pelajaran yang baik dalam
pandangan Allah dan RasuL-Nya. Yang mana pelajaran itu dapat membantu klien
untuk menyelesaikan atau menanggulangi problem yang sedaang dihadapinya.[6]
Dalam
peggunaan teori ini, konselor haruslah benar-benar telah menguai dengan baik
tentang materi-materi yang mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat
bermanfaat bgi klien, dan yang paling penting aalah dapat mengambil i’tibar dan
pelajaran yang baik (teladan) dari kehidupan Rasulullah SAW. Sebagaimana firman
Allah:
Artinya: “sesungguhnya sudah ada diri Rasulullah itu
suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi siapa saja yang mengharapkan allah
dan hari akhir, dn dia telah banyak mengingat allah”. (QS. 33:21)
Materi
Al-Mau’izoh Al-Hasanah, dapat diambill dari sumber-sumber poko ajaran islam,
maupun dari pakar (ulama) selama tidak bertenangan dengan norma-norma islam.
Adapun sumber-umberyang dimaksud adalah (a). Al-Qur’an, (b). Al-Hadis atau
prilaku rosul, (c). Al-Atsar atau prilaku para sahabat nabi, (d). Pendapat atau
ijtihad para ulama muslim.
C. Teori “Mujadah Ahsan”
Yang
dimaksud dengan teori Mujadala Ahsan (perdebatan)
ialah teori konseling yang terjadidimana seorang klien sedang dalam
kebimbangan. Teori ini biasa digunakan
ketika seorang klien ingin mencari suatu kebenaran yang dapat meyakinkan
diriny, yang selama ini memiliki problem kesulitan mengambil suatu keputusan
dari dua hal atau lebih. Sedangkan ia berasumsi bahwa hal tersebut adalah benar
untuk dirinya. Padahal dalam pandangan konselor hal itu dapat membahayakan
perkembngan jiwanya, akal pikirannya, emosionalnya serta lingkungannya. Adapun
ciri dari teori ini adalah:
a.
Harus adanya kesabaran yang tinggi dari
konsel.
b.
Tidak bertujuan untuk menjatuhkan klien,
tetapi membimbing
c.
Adanya rasa persaudaraan antara konselor
dengan klien serta penuh kasih sayang
d.
Dalam menkonseling harus menggunakan dalil
al-Qur’an atau Hadis
e.
Adanya ketauadanan yang sejati. Artinya
apa-apa yang konselor lakukan dalam proses konseling benar-benar telah
dipahami, serta diaplikasikan. Karena bagi seorang konselor muslim sejati,
pastilah memahami larangan al-Qur’an tentang seseorang yang tidak mengamalkan
apa yang ia nasehatkan. Dalam hal ini allah berfirman:
Artinya: “wahai orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Sangat besar kemarahan atau kebencian
disisi Allah jika kam mengatakan apa-apa yang tidak kamukerjakan”. (QS. 61:2-3)
Dasar
atau teori Mujadalah dalam al-qur’an dapat juga dirtikan sebagai penyampain
nasehat agama melalui dialog, diskusi, pesantren kilat, konseling dan
pendalaman ajaran agama.
2.
Berdasarkan
Hadis
Diantara
hadis yang peneliti jadikan rujukan sebagai pendukung (landasan konseling)
adalah:
Hadis
yang diriwayatkan oleh imam muslim, menjelskan tentang agama adalah Nasihat.
Artinya:
“dari Abu Ruqayyah Tamin bin Aus ad Dariy r.a Rasulullah SAW bersabda, “agama
adalah nasihat, “Kami bertanya, “Untuk siapa?” beliau menjawab, “bagi allah,
bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum Muslim, serta bagi
ummat islam pada umumnya.” (HR. Muslim)[7]
Landasan
konseling yangdapat kita ambil dari hadis di atas adalah sebagai berikut:
- Setiap kaum Muslim memiliki kewajiban untuk memberikan nasihat, karena ia adalah tiang dan penopang agama. Nasihat , sejati adalah milik allah, kita ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya, mengamalkan hukum-hukum yang terkandung didalamnya untuk dijadikan pedoman dalam beraktifitas, baik itu dalam membimbing dan pelayanan konseling.
- Nasehat bgi Rasullah, adalah membenarkan risalahnya, taat kepada perintahnya, serta berpegang teguh pada sunnah dan risalahnya, untuk dijadikan pedomn dalam berktifitas, baik dalam membimbing maupun layanan konseling.
- Nasehat bagi setiap individu dan masyarakat muslim adalah dngan memberikan petunjuk dan arahan kepada mereka tentang kemaslahatan agama, serta menyeruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.[8]
Konseling
islam memandang betapa pentingnya nasehat dan saling menasihati antar sesama
muslim, sehingga terjadi komitmen untuk melaksanakan nasehat. Dengan saling
menasehati berarti seorang muslim telah memenuhi janjinya kepada allah,
sebagaimana hal ini telah menjadi kebiasaan dikalangan para sahabat, orang-orang
mukmin dan shidiqin. Merka disebut juga sebagai konselor sejati :
Adapun yang menjadi ciri khas konsling islam
adalah :
- Berparadigma kepada wahyu dan ketauladanan para Nabi dan Rasul.
- Hukum konselor memberikan konselin kepada klien yang meminta bimbingan adalah wajib dan merupakan suatu keharusan dan merupakan ibadah.
- Akibat konselor menyimpang dari wahyu, maka allah menghukumi mereka sebagai pendusta agama.
- Konselor sejati dan utama yang dalam proses konseling selalu merujuk pada al-Qur’an dan hadis.
B.
Landasan
Umum Konseling Islam
Pendekatan konseling (counseling approach),
merupakan dasar bagi suatu praktek layanan konseling. Pendekatan tersebut
dirasakan sangat penting, karena secara teoi jika dipahami hal itu akan
memudahkan dalam menentukan arah proses kegiatan konseling.[9] Pendekatan konseling
biasanya dilatarbelakangi oleh pemiirnpemikiran tertentu seperti,
pemikiran/pendekatan filosofis, psikologis, teologis, dan sufistik atau dalam
islam dikenal dengan tasawwuf. Begitu juga hal dengan konseling islam. Untuk
lebih jelas, peneliti akan menyebutkan sebagai berikut:
1.
Landasan
Filosofis
Filosofis secara sederhana bisa diartikan
sebagai berfikir berdasarkan filsafat.[10] Walaupn setakat ini,
sulit ditemukan kesepakatan para ahli mengenai makna dan hakekat filsafat itu
sendiri, namun, paling tidak aktivitas filasafat selalu ditandai dengan upaya
berpikir kritis, sungguh-sungguh dan berhati-hati melalui sistem dan cara
tersendiri dalam mencari dan memahami berbagai realita dengan sedalam-dalamnya
dan menyeluuruh menuju suatu kesimpulan yang baik dan komprihensif.[11] Pendek kata,berpikir
filsafat merupakan upaya berpikir sistematis dan radikal tentang segala sesuatu
untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Semakin komprehensif analisisnya,
maka kesimpulan yang diperolehpun akan semakin baik dan jernih, sehingga
semakin tinggi pulalah Tingkat
kebenaran yang diraih. Termasuk didalamnya berfikir tentang konseling islam
dibidang pendidikan.
Secara filosofis, wawasan islam tentang
konsealing didasarkan atas pemikiran atau pandangan terphad Al-Qur’an dan
Hadits, agama dan tuhan,[12] manusia dan
pendidikan,kehidupan dunia dan akhirat, serta gangguan (penyakit) dan obatnya.
Dalam ila Al-Qur’an [13] dijelaskan, bahwa manusia
iitu adalah makhluk beragama atau berketuhanan, karena roh manusia berasal dari
Allah, dan agama merupakan fitrah manusia kepada Allah.
Dalam agama islam, manusia atau individu
dididik dan diajar untuk beriman dan bertakwa kaepada Allah SWT, karena iman
dan takwa adalah sumber kebaiakan, keamanan, dan kebahagiaan jiwa manusia.
Mukmin dan muttaaqin adalah sosok
manusia baliknya katiadaan iman dan takwa dalam kaehidupan merupakan sumber
kejahatan, kegelisahan, dan ketidak bahagiaan. Dalam situasi dan kondisi individu
seperti ini layanan konseling sangat dibutuhkan.
Allah menjadikan manusian dalam bentuk
kejadian yang sebaik-baiknya. Dalam penciptaan itu Allah mempersiapkan manusia
untuk mennjadi insanul kamil, oleh karena itu pada kejadian manusia banyak
terdapat bukti-bukti dan Ayat-Ayat Allah bagi orang yang berfikir ( jasmani dan
rohani ) tentang kaeindahan dan kesempurnaan
shuroh ( bentuk ) kejadian. Dan salah satu tujuan dari layanan konseling
islam adalah menjadikan manusia sehat baik dari segi rohani maupun jasmani dan
menjadikan manusia seutuhnya untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. [14]
Allah berfirman:
“
Dan diantara mereka , yaitu oranng islam, ada yang berdo’a: ” Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan dunia dan akhirat serta peliharalah kami darin siksa
neraka. “ ( QS al-Baqarah ayat 201
)
Untuk memperoleh kebahagiaan dan
kesempurnaan pribadi serta ketinggian dan kemuliaan akhlak manusia maembutuhkan
peran pendidikan, dan secara filosofis konsep islam tentang pendidikan dan
konseling sejalan dengan pemikirannya
tentang manusia itu sendiri, karena memang yang ingin dibentuk oleh
pendidikan itu hannyalah manusia, dan salah satu caranya adalah dengan layanan
konseling. Dalalm ajaran islaml manusia itu disebut juga dengan sebagai makhluk
multidimensi, [15]
dan makhluk multipotensi. [16]I Sungguhpun mamnusia dikaenal sebagai makhluk
multidimensi dan makhluk multipotensi,
akan tetapi hakekat dan makna kehidupanya yang paling tinggi adalah teerletak pada
kehidupan jiwa yang bersifat latif,
rohani, akkhlaki, religi, abadi, dan rabbani.
Maka-nya jiwa yang sehat dan tentramlah sebagai hakikat hakiki manusia itu
sendiri, karena jiwa itulah yang memiliki kesadaran, kebebasan, tanggung jawab,
amanah, dan yang berlaku taat ataupun durhaka kepada Allah serta merasakan
kebahagiaan atau kesengsaraan.Maka ketika jiwa atau pribadi yang multidimensi
dan multipotensi itu mendapatkan pendidikan dan layanan konseling islam dengan
baik, ketika itu terciptalah hati yang tentram dan damai, serta terhindar dari
masalah-masalah yang ada dalam diri insan al-kamil.
Selanjuutnya pandangan islam tentang
gangguan, penyakit, masalah individu dan kesulitan, diletakkan diatas dasar
peamikiran bahwa setiap penyakit ada obatnya, ( yait u konseloing dengan
konselornya ) didalam kesulitan ada kemudahan. Nabi Muhammad saw, menegaskan
bahawa setiap penyakit ada obatnya kecuali “ usia tua “. Dan didalam Al-Qur’an
ditegaskan bahwa, sesudah kaesulitan ada kkaemudahan. Hal in sesuai dengan
firman Allah:
“ Bukankah kami telah
melapangkan dadamu ( muhammaad ). Dan kamipun telah menurunkan baebanmu darimu.
Yang memberatkan punggungmu.Dan kami tingguikan asebutan namamu, bagimu. Maka
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila aengkau telah
selesai dari sesuatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk urusan yang lain. Dan
hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap “ ( QS. 94: 1-8 )
Dengan kata lain-secara filosofis-melalui
konselingnya, yaitu dengan upaya pemberian nasehat, menganjurkannyaorang untuk
berbuat baik seperi : berzikir, shalat, puasa, bersedekah, dan pembicaraan yang
baikserta lemah lembut, rasanya tidak ada masalah yang tidak dipecahkakn dalam
pandangan islam. Karena pada dasarnya manusia itu adalah baik dan suci, kalau
didapati ada manusia yang jahat dan kotor pastilah itu ada penyebabnya. Oleah
karenanya orang islam tidak boleh putus asa dalam menumbuhkembangkan
hubungannya dengan sesame manusia, karena putus asa adalah dosa.
2. Landasan Psikologis
Secara teoritis, antara psikologi,
konseling, psikotrapi, dan kesehatan mentalterdapat hubungan yang sangat erat.
Keemopat disiplin ilmu ini merupakan pilar bagi kesempurnaan kehidupan mental
dn jasmamni manusia, Secara agama, psikologi merupakan suatuau
permasalahan yang hendak dilayani oleh
layanan konseling islam. Sedangkan kesehatan mental adalah kondisi kejiwaan
manusia yang hendak dituju oleh pelayanan konseling islam. Sedangkan psikotrapi
merupakan pengobatan bagi segala gangguan dan penyakit kejiwaan manusia yang
dialami manusia. Oleh karenanya, secara psikologis, wawasan professional
konseling islam maencakup, psikologi agama, ilmu kesehatan jiwa, dan
psikotrapi. Dalam pelaksanaan pendidikan agama islam keempatnya tidak bias
dipisahkan.
Secara harfiyah, psikologi dapat diartikkan
ilmu tentang sikap dan tingkah laku manusia. Dengan mempelajari psikologi orang
akan mengenal dan menngetahui ayat-ayat Tuhan yangn terdapat dalam kehidupan
jiwanya dan orang lain untuk menngenal sosok kepribadian dan kondisi kesehatan
mental manusia. Di samping itu, dengan psikologi bias dikembangkan dimaensi dan
potensi kehidupan manusia seluas dan dan
seoptimal mungkin, demi untuk kesejahteraan dan kebahagiaan jiawa manusia.
Orang islam diperintahkan oleh Allah untuk membaca ayat-ayat-Nya yang ada pada
jiwa manusia itu sendiri atau mempelajari psikologi dirinya dan orang lain. Hal
ini sesuai dengan firman Allah :
“ kami akan memperlihatkan
kepada mereka ayat-ayat kami disegenap penjuru dan dalam diri mereka sendiri,
sehingga jelas bagi mereka bahwa AL-Qur’an itu adalah benar . “ ( QS. Fushshilat ayat 53 )
Apabila orang punya pengetahuan yang baik
denngan jiwanya, maka pengetahuan itu akan membawanya kepada pengetahuan
tentang Allah SWT. Jadi akhir dari pengetahuan kejiwaan itu dalam islam adalah
pengetuahuan dan pendekatan diri secara baik kepada Allah. Begitu juga halnya,
orang yang paham psikologi nmaka akan mudah baginya untuk maelakukan kegiatan
atau usaha pelayanan yang bernuana konseling terhadap orang yang mengalami
masalah atau kesulitan pada diri klien.
Dalam hal ini, konseling islam tidak lain
adalah suatu hubungan antara seorang klien yang memmpunyai masalah pribadi atau
juga kejiwaan dengan seorang konselor islam, pengentasan masalah, pencegahan
timbulnya masalah dan pengembangan potensi kerohanian manusia merupakan focus
yang amat penting dari pelayanan konseling islam itu sendiri. Pendek kata,
dengan psikologi, maka akan dapat dilukiskan dan dikembangkan kepribadian
seseorang, serta diketahui kondisi kesehatan jiwa sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya. Karena memang
demikianlah yang dianut oleh perkembangan psikologi agama islam.
Oleh karena besarnya arti dan fungsi
psikologi bagi layanan konseling, maka bagi orang-orang yang terlibat
didalamnya ( konselor/ klien ) harus
memanfaatkan jasa ilmu ini dalam pengembangan kehidupan, baik itu pendidikan,
penyiaran agama, dan juga dalam kegiatan membantu penyelesaian masalah-masalah
pribadi. Untuk keperluan konseling, landasan psikologis yang perlu dikuasai
oleh konselor adalah: pembawaan dasar dan lingkungan, perkembangan induvidu,
belajar, dan kepribadian.
a.
Pembawaan Dasar dan Lingkungan
Setiap individu dilahirkan kedunia dengan
membawa kondisi mental fisik tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering
disebut dengan pembawaan. Dalam, arti luas, pembawaan meliputi berbagai hal,
seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah,
kecendrunganciri-ciri kepribadian tertentu, bahkan kerentanan terhadap penyakit
tertaentu seringkali dikaitkan dengan pembawaan. Semua pembawaan tersebut
diturunkan melalui pembawaan sifat yang terbentuk setelah sel telur dari ibu
bersatu dengan sel sperma dari ayah pada saat konsepsi.
Pembawaan,[17] dan lingkungan,[18] masing-masing individu
tidaklah sama. Kondisi yang mennjadi pembawaan itu selanjutnya akan terus
tumbuh dan berkembang. Namun pertumbuhan dan perkembangan itu tidak dapat
terjadi dengan sendirinya. Untuk dapat tumbuh dan berkembang diperlukan sarana dan prasarana yang semuanya
berada dalam lingkungan individu nyang bersangkutan.
Keadaan pembawaan dan linbgkungan seseorang
dapat diketahui melalui penerapan pelayanaan konseling, baik tes maupun non tes
yang dipergunakan oleh Konselor ntuk menyikapi kondisi pembawaan dan lingkungan
sasaran layanan secara dinamis. Hal ini dimaksudkan bahwa apa-apa yang terdapat
dalam pembawaan sekecil apapun merupakan modal atau aset yang harus ditimbuhkembangkan
secara optimal, dan berdaya guna.
Penumbuh-kembangkan atau pengolahan
pembawaan itu semuanya dimulai melalui lingkungan. Oleh karena itu lingkungan
perlu ditata, dan inilah yang menjadi salah satu tugas pokok konselor untuk
memahami sebesar apa modal yang dimiliki oleh klien dan mengupadayakan
seoptimal mungkin.
b.
Perkembangan Individu
sejak masa dlam rahim ibu, bakal manusia
yang ditakdirkan akan berkembang menurut prosedurnya,19 yang
telah diatur oleh Allah SWT. Setelah dilahirkan didunia, tahapan-tahapan
perkembangannya adalah sebagai berikut:
1.
Subtahap
pertama berlangsung dari kelahiran sampai kira-kira enam minggu dan ini
merupakan tahap perkembangan refleks.
2.
Subtahap
kedua terjadi enam minggu sampai empat bulan dan merupakan tahap perkembangan
kebiasaan.
3.
Subtahap
ketiga terjadi dari enam sampai sembilan bulan dan merupakan perkembangan
kordinasi antara penglihatan dan kemampuan untuk menggenggam atau meraih
sesuatu.
4.
Subtahap
keempat terjadi dari umur sembilan sampai duabelas bulan, dan merupakan
perkembangan logika dan kordinasi antara alat dan tujuan.
5.
Subtahap
kelima terjadi pada usia 12-18 bulan, dan ini merupakan perkembangan pencarian
alat-alat baru untuk mencapai tujuan.
6.
Sutahap
keenam merupakan perkembangan awal dari pemahaman atau kreativitas yang
sesungguhnya.20
Dengan
demikian, jelas bahwa perkembangan individu itu tidaklah sekali jadi, melainkan
betahap dan berkeseimbangan. Seperti perkembangan secara kecerdasan (kognitif),
bahasa, moral, fisik, dan kemampuan motorik.
Dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanannya, konselor menghadapi individu yang sedang
berkembang. Oleh karena itu, selain konselor harus memahami secara terpadu
kondisi sebagai aspek perkembangan individu pada saat layanan konseling
diberikan., juga harus dapat melihat arah perkembangan individu kedelapannya.
Lebih jauh, dinamika perkembangan individu atau klien yang telah berlangsung
sebelumnya akan menjadi dasar diagnisis, serta pronosis, dan pemberian bantuan
nagi individu yang bersangkutan.
c. Belajar
Dari
pendapat pasa psikolog,21 tersimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkahlaku individu yang relatif
menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang membentuk
proses kognitif.
Perubahan
dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam
belajar. Karena kemampuan berubahlah manusia terbebes dari kemandegan fungsinya
sebagai khalifah dari bumi. Selain itu, dengan kemampuan berubah manusia secara
bebas dapat mengekpoitasi, memilih, dan menetapkan keputusan penting untuk
berkembang dalam kehidupannya. Karena memang manusia belajar untuk hidup, tanpa
belajar manusia tidak akan mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Dan dengan
belajarlah manusia mampu berbudaya dan mengembangkan kemanusiaannya.
Diantara
tujuan belajar adalah penguasaan dan pencapaian sesuatu yang baru, dan hal itu
merupakan tanda-tanda perkembangan bagi orang yang belajar. Namun yang
terpenting itu semuanya adalah (a). bahwa terjadinya perubahan atau tercapainya
sesuatu yang baru pada diri seseorang itu tidak berlangsung dengan sendirinya,
melainkan harus diupayakan. (b). Bahwasnya proses belajar tidak terjadi didalam
kekosongan, melainkan dalam suatu kondisi tertentu. (c). hasil belajar yang
diharapkan adalah sesuatu yang baru, baik dalam kawasan kognitif, efektif dan
psikomotor. (d). kegiatan belajar seringkali memerlukan sejumlah sarana, baik
berupa media, maupun suasana hati dan hubungan sosio-emosional. (e). hasil yang
diperoleh dari kegiatan belajar hendaknya dapat diketahui dan diukur, baik
individu yang belajar maupun oleh orang lain. (f). Upaya belajar merupakan
sesuatu yang berkeseibungan, karena kehidapan manusia normal sepanjang hayatnya
dipenuhi oleh upaya belajar, yang didukung oleh nuansa konseling.
Ada
beberapa alasan mengenai pentingnya layana konseling dilembaga pendidikan atau
sekolah untuk menunjang kegiatan proses belajar mengajar dengan baik, yaitu:
Pertama, perbsdaan antara individu atau siswa. Setiap siswa mempunyai perbedaan antara satu
dengan yang lainnya, di samping persamaannya. Perbedaan tersebut menyangkut:
kapasitas intelektual, keterampilan, motivasi, persepsi, sikap, kemampuan dan
minat.
Kedua, siswa menghadapi masalah-masalah dalam pendidikan.
Masalah-masalah tersebut bisa masalah pribadi, hubungan dengan orang lain
(guru, teman), masalah kesulitan belajar. Dalam penyelesaiannya, seringkali
tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan memerlukan bantuan orang lain untuk
berdialog. Orang lain yang dimaksud disini adalah orang yang mau mengerti
dengan diri siswa dan mengetahui cara penyelesaiaan. Dalam setting sekolah /
lembaga pendidikan, konselor adalah orang yang dituntut untuk dapat memberikan
bantuan.
Ketiga, masalah belajar. Siswa datang ke sekolah dengan harapan agar
bisa mengikuti pendidikan dengan baik. Akan tetapi tidaklah selamanya demikian.
Ada berbagai masalahyang mereka hadapi, bersumber dari stres karena
tugas-tugas, ketidakmampuan mengejarkan tugas, keingin untuk bekerja
sebaik-baiknya tetapi tidak mampu, persaingan dengan teman, kemampuan dasar
intelektual yang kurang, motivasi belajar yang lemah. Masalah-masalah tersebut
tidak selalu bisa diselesaikan dalam setting belajar mengajar di kelas,
melainkan memerlukan pelayanan secara khusus oleh konselor melalui konsultasi
pribadi.22
Beberapa
hal yang peneliti uraian diatas, perlu dikenal oleh konselor dan dipahami
berbagai kemungkinan penerapannya bagi pengembangan kegiatan belajar klien. Dan
untuk memadukannya pelayanan konseling-lah jawabannya.
d. Kepribadian
bicara
masalah kepribadian, sering dikaitkan dengan ciri seseorang. Makanya dalam
khazanah psikologi rumusan yang satu ini (kepribadian) masih agak sulit untuk
diketahui makna yang sebenarnya. Namun demikian para psikolog.23
pada umumnya mendefinisikan kepribadian ini terfokus pada faktor-faktor fisik
dan genetika, berfikir dan pengamatan, serta dinamika motivasi dan perasaan.
Namun sejumlah hasil study memperlihatkan adanya hubungan antara bentuk tubuh
dengan ciri-ciri kepribadiaan, dan hasil study tentang anak kembar menunjukkan
adanya pengaruh faktor-faktor genetika terhadap aspek-aspek kepribadian.
Labih
lanjut, kajian faktor-faktor biologis memperlihatkan pengaruh yang cukup besar
atas kepribadian individu. Kenyataan eksprimen
menunjukkan bahwa meskipun kepribadian seseorang individu adalah unik
(yang satu berbeda dengan yang lainnya), namun persamaannya juga cukup besar.
Persamaan itu antara lain terhadap pada bagaimana ciri-ciri kepribadian itu
diperoleh. Unsur pengaruh sosial mengingatkan bahwa sebagai makhluk sosial,
kepribadian individu ditentukan oleh lingkungan sosial, pendekatan psikometrik
menegaskan bahwa kepribadian meliputi suatu struktur dan sejumlah ciri
kepribadian yang dapat dipilah-pilah serta dapat diukur.
Kaitannya
dengan hal di atas, maka konselor perlu memahami kompleksitas kepribadian klien
disamping mampu memilah-milah ciri-ciri tertentu dapat diukur. Dalam kaitannya
ini, konselor biasanya cendrung terkait pada pemahaman terhadap ciri-ciri
kepribadian yang spesifik, namun yang terpenting dari semua adalah mengoptimalkan
perkembangan dan pendayagunaan ciri-ciri kepribadian klien. Karena memang
konseling pada awalnya muncul dan tumbuh sebagai gerakan yang dirancang untuk
membantu individu yang bermasalah.
3.
Landasan Teori
Secara
sederhana, teologi bisa diartikan dengan pembahasan terhadap soal-soal yang
berkaitan dengan ke-Tuhanan dan hubungannya dengan alam semesta, terutama
sekali dengan manusia.24 Setiap orang yang ingin menyelami
seluk-beluk agamanya maka ia harus mempelajari teologi yang terdapat dalam
agama tersebut. Seseorang yang telah mempelajarinya secara mendalam diharapkan
mendapatkan suatu keyakinan dan pedoman yang kokoh dalam beragama. Dan orang
yang demikian itu tidak mudah dipercaya oleh perubahan zaman memang selalu
berubah, karena setiap gerak, tindakan dan perbuatannya selalu didasari pada
keyakinan yang dijadikannnya falsafah hidup.
Sebagai
makhluk yang terdiri dar jasmani dan ruhani, pastilah manusia itu membutuhkan
kehidupan yang bermakna serta sehat mental dan fisiknya. Maka hidup yang paling
tinggi bagi orang yang paham tentang teologi adalah pengabdian dalam
hubungannya dengan sang pencipta. Manusia harus mempunyai kesadaran yang kuat
mengenai hubungan dengan Tuhan, demi untuk mendapatkan cara terbaik dalam
menyelesaikan/memecahkan kesukaran, kekuatan, konflik dan frustasi dalam
kehidupan sehari-hari, dan inilah sebenarnya jiwa yang tenang.25
Firman Allah:
“Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rido dan ridoi-Nya. Maka masuklah
kedalam jamaah hamba-Ku, dan masulah kedalam surga-Ku. (QS.89 ayat 27-30)
Kesadaran
dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa akan merangsang rasa rendah
hati, makin mengenali dirinya sendiri dan dapat memberikan rasa aman yang
mendalam, dan inilah sebenarnya yang diinginkan dan dituju oleh pelayanan konsling
Islam. 26 semua itu merupakan jaminan yang paling aman untuk
mendapatkan mental dan ketenangan jiwa. Karena memang, keimanan yang kokoh akan
dapat mencegah rasa ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, rendah hati, putus asa,
yang akibat semuanya itu akan dapat membahayakan kesehatan menytal dan
integritas kepribadian. Disamping itu pengakuan secara intelektual tentang
kebergantungan manusia kepada Tuhan-Nya, haruslah diikuti dengan ketaatan
menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.dan itulah
sebenarnya hakekat dari seseorang yng berteologi.
4. Landasan
Tasawwufi
Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani, dalam
bukunya Abad as-Suluk wa at-Tawashul ila
Manazil al-Muluk. (abad-abad perjalanan Spritual)27 menjelaskan,
yang dimaksud dengan tasawuf adalah, latihan (riyadhah) dan perjuangan (mujadalah)
untuk mendapatkan rasa manisnya dan lezatnya iman sehingga orangmeras rindu
padanya (tasawwuf). Dalam syariat kita yang toleran, tasawwuf merupakan satu
pengertian yang pasti, yang diambil dari pokok akidah dan lentera kenabian.
Yakni mengluarkan dunia dari hati, namun tetap menggenggamnya.
Dalam kaitannya dengan konseling Islam,
landasan tasawwuf merupakan landasan pengkajian yang didasarkan pada prosedur
intuitif (al-hadsiyah) ilham dan rasa
cinta (al-Zawqiyah). Prosedur yang
dimaksudkan adalah melakukan dengan cara memfokuskan struktur kalbu melalui
proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs).
Dengan cara ini dapat membuka tabir atau penghalang antara ilmu Allah dengan
jiwa manusia, sehingga mereka memperoleh ketersingkapan dan mampu mengungkap
hakikat jiwa yang sesungguhnya.28
Menurut William James, sebagai yang dikutib
oleh Abdul Mujib, bahwasanya empat karakteristik yang dapat dipahami dalam
pendekatan tasawwufi atau sufistik,
yaitu : (a) mereka lebih mengutamakan aspek-aspek perasaan (al-Syu’ur), sehingga dideskripsikan
secara ilmiah. (2) dalam kondisi neurotik [19] (al-Ushoby) atau emosi yang terganggu, justru para sufi menyakini
bahwa dirinya telah menggapai alam hakikat, sehingga mereka memperoleh ilham.
(3) bahwasanya kondisi puncak tersebut diperoleh bersifat sementara dan mudah
sirna, meskipun hal itu menimbulkan kesan dan ingatan yang mendalam dan tak
terlupakan, dan (4) apa yang diperoleh merupakan anugerah atau pengalaman yang
menguntungkan diri pada kekatan supranatural yang menguasainya.
Dari uraian diatas timbul satu pertanyaan,
apakah pendekatan tasawwufi dalam kontek konseling islam tidak dipandang bid’ah
(mengada-ada dalam Islam yang sebelumnya belum diajarkan oleh Nabi) ?, apalagi
terminologi tasawwuf atau sufi tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an maupun
Al-Sunnah, sepintas pertanyaan tersebut ada benarnya, karena memang apa yang
dilakukan oleh para sufi secara literal tidak didapati di dalam nash, namun
perlu diingat, bahwa Nabi Muhammad SAW, merupakan guru spiritual yang agung
yang tingkah lakunya memiliki ke dalam spritual. Walaupun pengalaman
spritualnya tidak diucapkan dalam kata-kata (hadis) tetapi sangat jelas bahwa
pengalaman tersebut dilakukan dan dirasakan.
Ketika terjadi peristiwa Isra’ dan Mi’raj,
Nabi telah mengalami pengalaman puncak dalam prilaku spritual, sebab beliau
telah mencapai pada tempat yang menjadi pusat rahasia-rahasia alam yaitu (Sidratul Muntaha), di lain pihak, Nabi
pernah menyendiri dan menyepi (khalwat)
disuatu tempat yaitu gua Hira’
sehingga beliau mendapat wahyu dari Allah SWT, menurut analisa peneliti, hal
inilah yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW, merupakan guru sufi.
5. Landasan
Sosial Budaya
Pola pikir dan kehidupan yang terlalu
berorientasi kepada kemajuan dalam bidang material (pemenuhan kebutuhan
biologis), telah menelantarkan supra empiris manusia, sehingga terjadi
kemiskinan rohaniyah dalam diri manusia dan kolbu yang gersang. Kondisi seperti
ini ternyata sangat kondusif bagi
berkembanganya masalah-masalah pribadi dan sosial yang terekspresikan dalam
suasana psikologis yang kurang nyaman, [20] seperti perasaan cemas,
stres dan perasaan terasing, serta terjadinya penyimpangan moral atau sistem
nilai.
Selain hal diatas, yaitu organisasi sosial
budaya, apakah itu lembaga keagamaan, kemasyarakatan, pendidikan, keluarga dan
politik, secara menyeluruh memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap sikap,
kesempatan dan pola hidup individu maupun sosial. Keragaman sosial budaya,
apakah itu tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, bahasa, kenyakinan dan
cara berfikir yang telah terpola dalam suatu masyarakat secara turun temurun,
hal tersebut pastilah akan menimbulkan hubungan antar sosial-budaya akan
berbeda.[21]
Menyingkapi hal tersebut diatas, maka
konseling yang melibatkan konselor dan klien dituntut untuk memiliki kepekaan
sosial budaya dan melepaskan diri dari bias-biasnya, yaitu dengan cara
mengapresiasi diversitas (perbedaan) budaya serta menguasai keterampilan yang
responsif secara kultural.
Karakteristik sosial budaya yang beraneka
ragama tersebut, tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan pelayanan
konseling, yang salah satu tujuannya adalah mengembangkan,meningkatkan mutu
kehidupan serta martabat manusia haruslah berakar pada sosial-budaya bangsa itu
sendiri, ini artinya penyelenggaraan layanan konseling haruslah dilandasi dan
mempertimbangkan keanekaragaman sosial-budaya hidup dalam masyarakat.
Untuk para konselor, dari berbagai macam
latar belakang sosial-budaya yang terdapat pada diri klien, hal tersebut tidak
dapat disamaratakan dalam penanganannya, walaupun munkin dalam kelompok
tersebut sedang menuju pada suatu budaya, kesatuan, namun akar budaya asli yang
masih eksis dan berpengaruh besar hendaknya patut dihargai, dikenal untuk
dijadikan pertimbangan utama dalam layanan konseling.
6. Landasan
Pedagogis
Dalam
kaitannya dengan pendidikan, secara eksplisit disebutkan bahwa upaya dan
layanan konseling merupakan salah satu bentuk pendidikan, oleh karena itu, segenap pembahasan tentang konseling tidak
boleh terlepas dari pengertian pendidikan yang telah dirumuskan secara praktis,
dengan demikian dalam pelayanan konseling harus terkandung komponen-komponen
pendidikan, [22]
maka tujuan dari layanan konseling juga tidak boleh menyimpang dari tujuan
pendidikan nasional, [23] yang tertera dalam
undang-undang No. 22 tahun 2003. demikian juga tujuan dari layanan konseling,
pada dasarnya adalah agar klien lebih mantap dalam keberagamannya, berbudi
luhur, berpengetahuan dan berketerampilan yang memadai, sesuai dengan kebutuhan kehidupan dan pengembangan dirinya, sehat
jasmani dan rohaninya, mendiri, bertanggungjawab dan memiliki jiwa sosial
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Memang,
landasan psikologis mengemukakan bahwa antara pendidikan dan layanan konseling
dapat dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan, dan secara mendasar
layanan konseling merupakan salah satu bentuk dari proses pendidikan, yang
menekankan pada kegiatan belajar dan sifat dasar normatif serta tujuannya
adalah memperkuat dan menunjang tujuan-tujuan pendidikan secara wajar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an al-Karim
Al-Hadis : Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Tarmidzi
Al-Hadis : Al-Imam Ahmad bin Hambal-Musnad
Al-Hadis : Al-Bukhari-Matan Masykul
Al-Hadis : Mukhtashar Shahih Muslim
Al-Hadis : Shahh Muslim
Al-Hadis : Sunan Abi Dawud
Al-Hadis : Taisir Shahih al-Bukhari
An_Nawawi-Imam,
Syarah Riyadhsush Shalihin, Jakarta : Gema Insani, 2010.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus ‘Arabi-Indonesia, Surabaya : Pustaka progressif-1984.
Az-Zahrani-Musfir bin Said, Konseling Terapi, Jakarta : Gema Insani,
2005.
Adz-Dzaky-Bakran Hamdan. Konseling dan Psikotrapi Islam.
Yogyakarta, 2004.
Abdul-Mujib, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2002
A. Juantika Nurihsan, Landasan Bimbingan Konseling. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009
Arifin. H.M. Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner.
Andi Mappiare A.T. Kamus Istilah Konseling. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006
----------------Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2008
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta : Pustaka Amani, 2003
Anas Ahmad Karzon, Tazkiyatun Nafs, Jakarta : Akbarmedia, 2010
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta, 2008
Atabik Ali, Qomus al-‘Ashri-Arobi Indunisi, Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum
Pondok Pesantren Krapyak, 1996
Abdullah Munif, Rutinitas Muslim Pilihan, Lamongan : Kombi Prima Grafika, Tt.
Aliah Kania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006
Amin. Samsul Munir, Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta : Amzah, 2010.
Al-Munajjid Muhammad Sholeh. Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang
Lain, Jakarta : Zaman, 2010
Ba’al Baki, Al-Maurid, Al-Hadis Modern English-Arabic Dictionary, Beirut. Dar
El-Ilm Lil-Malayen, 1998.
Corey Geral, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : Refika
Editama, 2009
Fathoni : Makmur Haris, Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme
Masyarakat Modern. Jogjakarta : Ircisod, 2010
Fuhaim Mustafa, Kurikulum Pendidikan Anak Muslim. Surabaya : Pustaka Elba, 2010
Hassan Shaidly. An English-Indonesia Dictionary. Jakarta : Gramedia, 2003
John mCLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta : Kencana
Prenada Group. 2006
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta : Adiya Media, 2005
Muhammad Ustman Najati. Psikologi Qur’an dari Jiwa Hingga Ilmu
Laduni. Bandung : Marja, 2010
Muhammad Suwaaid, Mendidik Anak Bersama Nabi. Solo : Arafah Group, 2004.
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta : Ciputat Prss, 2002
Prayitno, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta : Jakarta, 2004
-----------, Dasar Teori dan Praktsis Pendidikan. Jakarta : Grasindo, 2009
Sofyan S. Wilis. Konseling Individu Teori dan Praktek, Bandung Al-Fabeta, 2004
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2007
W.S Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.2004.
[1]
Hamdan Bakran Adz Zaky. Konsling dan Psikotrapi
Islam. (Jogjakarta : Al-Manar, 2004), hlm. 190
[2] Ibid, hlm. 191.
[3] Ahmad Warson Munawi,
Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Surabaya. Pustaka Progresif, 1997), hlm.
[4] Syamil al-Qur’an, hlm. 281
[5]
Hamdan Baakran Adz-Zaky, Op-Cit, hLm. 198
[6]
Ibid, hlm.202
[7]
Imam an-Nawawi, Terjemahan Syarah
Shalihin ( Jakarta : Gema Insani, 2001) hlm. 337. Jilid 1.
[8]
Imam an-Nawawi, Syarah Riyadhush Shalihin.
(Jakarta. Insani. 2010), hlm. 337-338
[9]
Sofysn S. Willis, Konseling Individu dan
Praktek. [Bandung, Alfabeta, 2009], hlm 55
[10]
Daryanto SS. Kamus Bahasa Indonesia
Lengkap, [Surabaya, Apollo, 1997], hlm. 203
[11]
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, [Yogyakarta,
Aditya medi, 2005], hlm 1
[12] Dalam pandangan islam,
kebutuhan manusia kepada agama dan tuhan adalah merupakan tabiat dan fitrah,
karena agama adalah dimensi dan potensi penting bagi kehidupan manusia sebagai
khalifah Allah dibumi atau sebagai insan kamil. Yahya Jaya, Ibid, hlm. 86.
[13] “ Maka apabila aku telah
menyempurnakan ( kejadian) nya dan aku telah meniupkan ruh ( ciptaan) ku
kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud . QS. 15. 29. “ .
Departemaen Agama RI, AL-Qur’an teerjemah Per-kata, syaamil Al-Qur’an. 2007.
[14] Samsul Munir Amin,
Bimbingan dan konselinng islam, [ Jakarta,
Amzah, 2010 ], hlm. 40.
[15] Multidimensi adalah,
makhluk yang terdiri dari berbagai aspek kehidupan seperti, kehidupan jasmani,
rohani, agama, akhlak, social, akal, dan kehidupan, astetika. Yahya Jaya,
Op-Cit, hlm. 88.
[16] Multipotensi adalah,
manuasia yang memiliki banyak potensi dalam kehidupannya untuk menjadi insane
al- Kamil, yang kualitas sifatn dan akhlaknnya dekat dengan asmaul husna.
[17] Dalam psikologi
perkembangan, ada pembawaan yang tinggi, sedang, kurang, bahkan kurang sekali.
Terkadang dijumpai individu dengan intelegensi
yang amat tinggi ( jenius). Bahkan yang
amat istimewa, atau pembawaan yang luar biasa bagusnya, dan itu semua adalah
anugrah dari Allah. Sebaliknya, teerkadang kita jumpai pula individu dengan
intelegensinya rendah, pembawaan yang seperti itu juga merupakan karunia dari
Allah yang tidak boleh disia-siakan, tapi harus mendapatkan yang memadai
tentunya, yang sesuai dengan kemuliaan mamnnusia itu sendiri menurut kodratnya.
[18] Dalam psikologi
perkembangan juga terdapat li9ngkungan individu yang sangat baik, dan kurang
baik yang dapat mempengaruhi dan menunjang pengembangan bakat yang tinnggi, dan
bahkan sebaliknya.
[19] Para
psikolog beranggapan bahwa neurotik merupakan prilaku yang diperankan oleh
seorang sufi ketika mereka telah mencapai puncak spritualnya, misalnya dalam
kondisi mengucapkan ucapan-ucapan yang tidak disadari ketika sedang melakuka
meditasi, seolah-olah adanya teriakan ilahi sehingga ia terpesona, dalam
paradigma psikologi Barat kontemporer, kondisi seperti ini dipandang sebagai
kegilaan, namun menurut paradigma psikologi sufistik, kondisi seperti ini
merupakan suatu keadaan yang berasal dari Tuhan, Abdul Mujib, Ibid, hlm. 28
[20] A.
Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan
Konseling, (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2009) hlm. 117
[21] Dedi
Supriadi, Membangun Bangsa Melalui
Pendidikan, (Bandung, Rosda Karya,
2004) hlm. 229
[22]
Komponen-komponen Pendidikan yang peneliti maksud adalah, (1) peserta didik,
(2) pendidik, (3). Tujuan Pendidikan, (4). Proses pembelajaran. Lihat Prayitno,
dalam Dasar teori dan Praksisi
Pendidikan, (Jakarta., Grasindo, 2009) hlm. 43
[23] Tujuan yang dimaksud
adalah, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
keapda Tuhan yang Maha Esa, berakhalk mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,
Lihat Samsul Munir Amin, Op cit, hlm. 323